kuburan angker. |
Pada suatu hari disuatu negeri yang jauh dengan
negeriku. Aku dan sekelomok sahabatku, bercakap ria tentang nasibkami sebagai
anak perantau. Jauh dari orang tua dan jauh dari sanak keluarga. Hanya persahabatan
yang sekarang terjalin, yang bisa kami andalkan dalam kehidupan kami dinegeri
orang yang jauh dari kampung halaman.
Dalam percakapan yang dibumbui dengan curhat
curhatan tentang nasib kami, yang kebetulan tidak tinggal bersama. Kami mendapat
sebuah kesimpulan yang unik. Kesimpulan yang manis dan kesimpulan yang pahit. Kesimpulan
tersebut adalah: “Lebih Enak Hidup
Bersama Orang Mati Ketimbang Orang Hidup”.
Okelah, agar para pembaca(jika ada) tidak salah
mengerti, aku ceritakan dahulu ikhwal kisahnya. Aku, tinggal disebuah rumah
dinas dengan seorang teman yang juga perantau. Kami tinggal agak terpisah. Jauh
dari keramaian dan hanya berteman kuburan-kuburan. Begitulah keadaannya, rumah
kami berdekatan dengan kuburan umum desa setempat. Namun dikatakan oleh
teman-temanku yang hidup dekat dengan orang hidup, kehidupanku paling nyaman.
Kehidupan bersama orang hidup, maka kita harus bisa
menyesuaikan diri dengan orang-orang tersebut. Kalau bersama orang mati, tak
perlu.
Jika kita tinggal bersama orang yang memiliki
rumah.(istilahnya numpang), maka pastinya kita sadar diri dengan mengerjakan
pekerjaan rumah. Permasalahan akan muncul jika yang empunya rumah menjadi
keenakan dan memanfaatkan kebaikan kita sehingga, jadilah kita PRT gratisan
selama tinggal dirumah tersebut. Jika kita tinggal numpang, dan kita tidak
sadar diri, potensial sekali kita akan diusir. Hahahahah
Jika kita numpang, lalu yang empunya rumah biang
gosip, pastilah kita akan menjadi sebuah sumber gosip paling in bagi dia. Ini membuat
suasana hati kita menjadi lebih baik mati. Ya, banyangkan saja jika seandainya
kita keluar rumah dan melihat matamata yang sinis memandang. Tidak satu mata,
tapi beberapa mata, pastinya sakit. Lebih
baik mati.
Lanjut jika kita tinggal bersama teman-teman sesama
perantau, masalah akan muncul jika ada satu orang saja yang tidak sadar diri
dan menjadi sumber permasalahan. Ini akan lebih parah daripada kita tinggal
ditempat orang. Karena disatu sisi dia sendiri adalah sahabat kita, sesama
perantau dan sudah selayaknya kita lindungi. Permasalahan adalah si pembuat
masalah biasanya adalah orang yang keras kepala. Dia tidak akan mendengar kata
kita dan memilih untuk hidup gaya dia ditengah-tengah kita. Tentusaja menghadapi
tipe ini, aku belum punya solusinya.
Yang terakhir. Jika tinggal sendiri, maka yang harus
dipikir adalah pandangan masyarakat. Ini biasa dapat kita hindari karena kita
tidak tiggal serumah dengan masyarakat (iyalah, tak akan muat). Jadi masyarakat
tidak akan mengomentari sesuatu yang berada didalam rumah kita. Namun tetap
pandangan masyarakat saat kita keluar dan saat kita masuk harus kita pedulikan.
Inilah sosiologis.
Jadi yang terakhir, mari kita tinggal bersama orang
mati. Tidak ada yang akan protes. Namun itulah masalah utamanya. Saat tidak ada
suara dan mata yang mengawasi, seringkali kita lupa diri. Sering tidak
mengerti, bahwa ALLAH tetap mengawasi. Ini juga bisa menjadi masalah, walau
bukan masalah besar.
Jadi solusi terbaik adalah tinggal bermasyarakat
dengan sedikit berbual yang tidak penting. Ingat, banyak kata, banyak dosa. Sedikit
jumpa, sedikit salah. Tinggalkan kesan yang baik, walau perjumpaan kita hanya
sebentar saja.
Leave a comment